Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 18 Juni 2013

LEDAKAN PENDUDUK VERSUS KRISIS PANGAN

Kontrarica yang terjadi akhir-akhir ini antara ledakan penduduk versus krisis pangan mengingatkan penulis pada kegiatan anak-anak muda tahun 1975-an yang tergabung dalam Student Movement for Zero Population Growth (ZPG), yang berpusat di Jalan Supardi Nomor 7 Kotabaru Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978)
Yogyakarta. Dalam kegiatan orientasi anggota baru, AR. Jibran selalu memberikan penekanan pemahaman dasar terhadap setiap gerakan untuk pembatasan pertumbuhan penduduk. Ditekankan bahwa pertumbuhan penduduk Indonesia harus dipertahanakan maksimal pada angka “DJI SAM SOE” (2,34) persen per tahun. Angka kematian diusahakan semakin menurun, sampai ketingkat keseimbangan dengan angka pertumbuhan pada tahun 2050. Tujuan dan harapannya adalah  bahwa semua gerakan pembatasan  penduduk harus menuju pada pertumbuhan penduduk nol (zero growth) pada tahun 2050.
Beberapa kampanye terkait  untuk menuju pertumbuhan penduduk nol (zero growth), antara lain :
  1. Menunda usia perkawinan hingga mencapai usia reproduksi sehat, yaitu pada seorang seorang laki-laki usia 25 tahun dan Lihat Daftar Tokoh Perempuanperempuan usia 20 tahun.
  2. Menunda kelahiran anak pertama dan  mengatur jarak kelahiran antara anak pertama dan anak kedua.
  3. Menghentikan reproduksi setelah anak kedua, tidak ada perbedaan antara anak laki-laki dan Lihat Daftar Tokoh Perempuanperempuan.
Menghentikan reproduksi setelah anak kedua tersebut hendaknya tidak didasarkan pada kekhawatiran orang tua karena tidak mampu memberikan makan, karena pada dasarnya kebutuhan makanan setiap manusia sudah dijamin oleh Tuhan. Menghentikan reproduksi setelah anak kedua semata-mata atas pertimbangan agar sumber daya manusia (SDM) sebagai generasi  penerus  memiliki kualitas memadai sehingga mampu bersaing dengan  bangsa-bangsa lain.

Pendalaman pengetahuan dibidang kependudukan yang sangat elementer tersebut dilakukan dalam diskusi-diskusi mingguan di ruang pertemuan yang tidak begitu luas  dan peserta yang mengikutinya pun tidak pernah lebih dari 15 orang sehingga diskusi tersebut dapat berjalan dengan intens, mengerucut pada setiap isi substansi topik yang dibahas. Para peserta diskusi mingguan itulah yang kemudian ditugaskan sebagai nara sumber dalam pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh ZPG maupun oleh institusi lain dikalangan pelajar dan mahasiswa di Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978)Yogyakarta kala itu.

Masih jelas dalam ingatan penulis, bahwa pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu penyebab terjadinya kelaparan dan kemiskinan. Oleh karena itu kita memahami ketika Konfrensi Tingkat Tinggi Food and Agriculture Organization (KTT FAO) yang diselenggarakan di Roma Italia pada tahun 1996, para pemimpin dunia bertekad untuk mengurangi kelaparan dari 840 juta jiwa menjadi 400 juta jiwa hingga tahun 2015. Kemudian dalam Millennium Development Goals (MDG) dipertegas kembali komitmen melawan kemiskinan dan kelaparan.

Dengan piramida penduduk usia muda, satu negara akan terlalu banyak menginvestasikan anggarannya untuk keperluan yang tidak produktif, seperti untuk membeli pangan, membangun puskesmas dan balai kesehatan, membangun sekolah-sekolah serta fasilitas-fasilitas lain untuk tempat bermain anak-anak. Dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi,  memerlukan banyak perumahan dan untuk memenuhinya terpaksa harus dengan cara alih fungsi dari lahan pertanian menjadi lahan untuk pemukiman. Hingga saat ini data alih fungsi lahan pertanian di pulau jawa mencapai 8 persen per tahun, sehingga jika hal tersebut tidak dikendalikan maka secara matematis 12,5 tahun kedepan seluruh lahan pertanian di pulau jawa akan beralih fungsi menjadi lahan untuk pemukiman guna memenuhi kebutuhan perumahan bagi penduduk.
Ledakan penduduk juga menyebabkan penebangan dan perambahan hutan sekedar untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar dan keperluan lain yang sifatnya konsumtif. Akhibatnya terjadilah penggundulan hutan yang dapat menyebabkan banjir, tanah longsor dan bencana lainnya. Kesimpulannya, ledakan penduduk mengakibatkan keseimbangan lingkungan terganggu, sehingga dapat memperumit mengurai benang kusut kelaparan dan kemiskinan yang pada saatnya justru sampai pada pangkal penyebabnya yakni  krisis pangan.

UNDERVALUED
Sudah jamak diketahui di negara-negara agraris seperti Indonesia, aktivitas pertanian dinilai rendah (udervalued), meskipun Indonesia sangat terkenal dengan negara yang subur dan kaya sumber daya alam. Pengalaman kita sejak ratusan tahun yang lalu menunjukkan bahwa kita masih terfokus pada pertanian budi daya (on-farm) saja. Ekspor kita didominasi oleh produk-produk primer bukan produk olahan seperti yang dilakukan oleh negara tetangga Thailand dan Malaysia yang memiliki nilai tambah besar. Apabila kita bandingkan dengan Thailand dan Malaysia maka wajar apabila nilai tambah yang kita peroleh juga kecil, hal ini terjadi karena konsentrasi pembangunan pertanian di Indonesia sejak tahun 1980-an masih bertumpu pada pangan beras, sehingga perkembangan industri pengolahan pertanian (agroLihat Daftar Tokoh Pengusahabisnis) khususnya pangan menjadi terabaikan. Kemajuan-kemajuan teknologi pertanian yang telah kita capai memang memberi andil besar terhadap peningkatan produktivitas hasil pertanian saat ini. Akan tetapi, dengan pertumbuhan penduduk yang semakin besar, yaitu saat ini sekitar 236 juta jiwa, untuk mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri, pemerintah menerapkan kebijakan impor pangan khususnya beras dari Thailand.
Teori perdagangan internasional mengajarkan pentingnya spesialisasi pada masing-masing negara berdasarkan keunggulan komparatif yang dimilikinya. Negera-negara beriklim tropis yang memiliki lahan subur sebaiknya melakukan spesialisasi dalam produk pertaniannya, sementara negara-negara yang tidak memiliki lahan subur dan iklim yang cocok untuk pertanian sebaiknya melakukan pengembangan pada industri pengolahan pertanian (agroLihat Daftar Tokoh Pengusahabisnis), dengan demikian antara negara satu dengan yang lainnya mampu terjadi efisiensi produksi yang saling mengisi dan menguntungkan. Namun fakta yang terjadi menunjukkan bahwa teori tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Berdasarkan pengamatan dari Raul Prebisch – seorang ekonom Amerika Latin,  ternyata terjadi penurunan nilai tukar komoditi pertanian terhadap produk-produk industri, hal ini mengakhibatkan terjadinya defisit neraca perdagangan negara-negara agriLihat Daftar Tokoh Pengusahabisnis yang mengandalkan pertanian. Penyebab terjadinya defisit neraca perdagangan tersebut adalah adanya distorsi perdagangan global akibat subsidi domestik dan subsidi ekspor yang luar biasa besar yang diberikan oleh negara-negara maju sehingga harga di pasar dunia menjadi sangat murah ( Kompas, 3-1-2012).  Sementara negara-negara agraris sangat lambat membangun dan mengembangkan industri pengolahan pertanian (agrobisnis) sehingga nilai tambahnya sangat rendah (undervalued).
Rendahnya nilai tambah hasil pertanian juga disebabkan oleh faktor-faktor lain yang melekat (inherent). Misalnya, pertama adalah masalah ketersediaan air, kurang lebih sekitar 90% air bersih di Indonesia digunakan untuk sektor pertanian dan lebih dari setengahnya digunakan untuk irigasi tanaman padi, dibutuhkan rata-rata 3.000 liter air untuk produksi 1 kilogram padi varietas padi unaerobic (Zeigler, 2005). Kedua adalah masalah salinitasi air, air tanah yang berasal dari sumur dangkal maupun sumur dalam yang dipompa untuk keperluan produksi pertanian akan menguap dan bilamana curah hujan tidak seimbang dapat menyebabkan meningkatnya konsentrasi kandungan bahan kimia dan garam dalam air tanah tersebut sehingga dapat menurunkan kesuburan tanah secara drastis. Ketiga adalah masalah pemanasan global, masalah pemanasan global kini menjadi masalah yang sangat serius, dampaknya sudah mulai kita rasakan antara lain meningkatnya permukaan air laut, banjir, puting beliung dan suhu udara yang semakin panas dan basah. Setiap kenaikan suhu udara 1 derajat celcius saja mampu menyebabkan berkurangnya hasil pertanian padi sebesar 0,5 Ton per hektar. Keempat adalah pertanian padi yang menggunakan sistem pertanian dengan cara menggenangi sawah dengan air dapat meningkatkan emisi gas methane yang mengakhibatkan lubang pada lapisan ozon. Kelima adalah masalah penggunaan pestisida dan pupuk anorganik yang berlebihan, penggunaan pestisida yang berlebihan dapat membunuh predator alam dan mikro-organisme yang ada didalam tanah, sedangkan penggunaan pupuk anorganik yang berlebihan dapat mengakibatkan tanah lahan pertanian kekurangan bahan organik yang diperlukan untuk kelangsungan hidup mikro-organisme, sehingga tanah lahan pertanian tidak bisa gembur dan berubah menjadi gumpalan bahan kimia.

INTEGRATIF
Pertumbuhan penduduk dunia saat ini mencapai 7 milyar lebih dan akan terus bertambah dengan persebaran penduduk berdasarkan jumlahnya adalah : China sebesar 1,3 milyar jiwa, Amerika Serikat 280 juta jiwa, Indonesia 236 juta jiwa dan sisanya tersebar di berbagai negara di dunia. Dalam setiap 20 menit lahir sebanyak 6.000 bayi di seluruh dunia yang sebagian besar ada di negara-negara berkembang, yang setengahnya tergantung pada hasil pertanian beras sebagai makanan utamanya. Bagi penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, pengeluaran rutin untuk membeli bahan makanan utama khususnya beras merupakan bagian terbesar dari pengeluaran rutinnya. Kerawanan pangan dan kelaparan sering terjadi pada petani ber-skala kecil (petani gurem), nelayan dan masyarakat sekitar hutan yang menggantungkan hidup pada sumber daya alam (SDA) yang semakin berkurang dan terdegradasi, sedangkan kerawanan pangan pada masyarakat perkotaan utamanya terjadi pada buruh.
Oleh karena itu, untuk mengurangi kemiskinan tidaklah cukup hanya dengan cara menurunkan harga beras dan meningkatkan produktivitas petani, melainkan harus diimbangi dengan pembatasan laju pertumbuhan penduduk sebagai satu sistem yang terintegrasi. Thomas Robert Malthus (1766-1834) mengatakan bahwa pertumbuhan manusia berdasarkan deret ukur sedangkan pertumbuhan pangan berdasarkan deret hitung, semakin membuat kita yakin bahwa jika berbicara mengenai masalah pangan dan kemiskinan/ kelaparan tidak bisa dilepaskan dari masalah laju pertumbuhan penduduk. Hal tersebut akan menimbulkan pertanyaan bagi faham monoteisme; Bagaimana Sang Pencipta Yang Maha Tahu menunjukkan Ke-Maha Rahiman-Nya tanpa partisipasi kehendak bebas dari manusia ? Dalam firman-Nya Sang pencipta mengatakan : “Janganlah engkau takut mengenai apa yang akan kau makan dan minum, sebab burung-burung di udara yang tidak menabur juga diberi makan, apalagi engkau wahai manusia”.
Sang Pencipta juga memperingatkan kita sebagai manusia untuk tidak meninggalkan keturunan yang lemah, hal ini ditekankan kembali oleh Utusan-Nya bahwa generasi yang kuat lebih disukai daripada generasi yang lemah. Manusia sebagai hamba sekaligus utusan Tuhan di Bumi (Khalifatullah fil Ardhi) telah merespon hal tersebut melalui Revolusi Hijau (green revolution) pada awal abad ke-19 dan World Trade Organization (WTO). Akan tetapi respon manusia tersebut ketika akan memacu kecukupan pangan mengikuti laju pertumbuhan penduduk ternyata mengalami kegagalan. Revolusi hijau meskipun berhasil meningkatkan swasembada pangan tetapi memiliki dampak negatif terhadap ekosistem alam, akhirnya swasembada pangan pun tidak berkelanjutan (unsustainable), bahkan karena lahan pertanian di negara-negara berkembang cenderung rusak justru yang terjadi adalah krisis pangan. WTO yang semula diharapkan dapat menjaga harmoni perdagangan dunia, justru menciptakan ketimpangan dan penyebab kemiskinan di negara-negara berkembang dan berpihak pada negara-negara maju.
Sang Pencipta tidak akan menjatuhkan pangan dari langit, kecuali melalui ikhtiar manusia sebagai co-creator , oleh karena itu semua faham spiritualisme terutama monoteisme sebaiknya menghentikan segala pertikaian dengan motif egosentrisme untuk meraih imbalan kebahagiaan abadi di akherat dan mulai bersungguh-sungguh berlomba-lomba dalam kebaikan dengan giat mengusahakan kecukupan pangan yang berkelanjutan. Salah satu pilihan yang dapat ditempuh adalah dengan mengendalikan laju pertumbuhan penduduk melalui program Menko Kesra dan Taskin (1998-1999) dan Kepala BKKBN (1983-1998)Keluarga Berencana serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berbasis pada sumber daya manusia dan kearifan lokal guna meningkatkan kecukupan pangan yang berkelanjutan ( The Evergreen Revolution ). Pilihan tersebut bukan tidak memiliki resiko, karena disamping memakan waktu yang relatif lama, dananya juga besar, mungkin juga konsensus yang bertele-tele dengan para pemuka agama dan spiritualis, dibutuhkan kebijakan politis, kedisiplinan dan partisipasi dari masing-masing orang. Bersamaan dengan hal tersebut, kecenderungan ekploitasi sumber daya alam untuk kebutuhan manusia harus tetap dijaga keseimbangan dan kelestariannya. Jangan hanya demi untuk mencapai kesejahterannya, seorang manusia membuat manusia lain tidak sejahtera (zero sum game), jika hal tersebut sampai terjadi maka dibutuhkan koreksi dan kebijakan yang lebih berkeadilan, integratif dan harmonis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
Powered By Blogger

Total Tayangan Halaman

Blogroll