Kontrarica yang terjadi akhir-akhir ini
antara ledakan penduduk versus krisis pangan mengingatkan penulis pada
kegiatan anak-anak muda tahun 1975-an yang tergabung dalam Student
Movement for Zero Population Growth (ZPG), yang berpusat di Jalan
Supardi Nomor 7 Kotabaru
Yogyakarta.
Dalam kegiatan orientasi anggota baru, AR. Jibran selalu memberikan
penekanan pemahaman dasar terhadap setiap gerakan untuk pembatasan
pertumbuhan penduduk. Ditekankan bahwa pertumbuhan penduduk Indonesia
harus dipertahanakan maksimal pada angka “DJI SAM SOE” (2,34) persen per
tahun. Angka kematian diusahakan semakin menurun, sampai ketingkat
keseimbangan dengan angka pertumbuhan pada tahun 2050. Tujuan dan
harapannya adalah bahwa semua gerakan pembatasan penduduk harus menuju
pada pertumbuhan penduduk nol (zero growth) pada tahun 2050.
Beberapa kampanye terkait untuk menuju pertumbuhan penduduk nol (zero growth), antara lain :
- Menunda usia perkawinan hingga mencapai usia reproduksi sehat, yaitu pada seorang seorang laki-laki usia 25 tahun dan perempuan usia 20 tahun.
- Menunda kelahiran anak pertama dan mengatur jarak kelahiran antara anak pertama dan anak kedua.
- Menghentikan reproduksi setelah anak kedua, tidak ada perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan.
Menghentikan reproduksi setelah anak
kedua tersebut hendaknya tidak didasarkan pada kekhawatiran orang tua
karena tidak mampu memberikan makan, karena pada dasarnya kebutuhan
makanan setiap manusia sudah dijamin oleh Tuhan. Menghentikan reproduksi
setelah anak kedua semata-mata atas pertimbangan agar sumber daya
manusia (SDM) sebagai generasi penerus memiliki kualitas memadai
sehingga mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain.
Pendalaman pengetahuan dibidang kependudukan yang sangat elementer
tersebut dilakukan dalam diskusi-diskusi mingguan di ruang pertemuan
yang tidak begitu luas dan peserta yang mengikutinya pun tidak pernah
lebih dari 15 orang sehingga diskusi tersebut dapat berjalan dengan
intens, mengerucut pada setiap isi substansi topik yang dibahas. Para
peserta diskusi mingguan itulah yang kemudian ditugaskan sebagai nara
sumber dalam pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh ZPG maupun
oleh institusi lain dikalangan pelajar dan mahasiswa di
Yogyakarta kala itu.
Masih jelas dalam ingatan penulis, bahwa
pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan ekonomi
menjadi salah satu penyebab terjadinya kelaparan dan kemiskinan. Oleh
karena itu kita memahami ketika Konfrensi Tingkat Tinggi Food and
Agriculture Organization (KTT FAO) yang diselenggarakan di Roma Italia
pada tahun 1996, para pemimpin dunia bertekad untuk mengurangi kelaparan
dari 840 juta jiwa menjadi 400 juta jiwa hingga tahun 2015. Kemudian
dalam Millennium Development Goals (MDG) dipertegas kembali komitmen
melawan kemiskinan dan kelaparan.
Dengan piramida penduduk usia
muda, satu negara akan terlalu banyak menginvestasikan anggarannya untuk
keperluan yang tidak produktif, seperti untuk membeli pangan, membangun
puskesmas dan balai kesehatan, membangun sekolah-sekolah serta
fasilitas-fasilitas lain untuk tempat bermain anak-anak. Dengan tingkat
pertumbuhan penduduk yang tinggi, memerlukan banyak perumahan dan untuk
memenuhinya terpaksa harus dengan cara alih fungsi dari lahan pertanian
menjadi lahan untuk pemukiman. Hingga saat ini data alih fungsi lahan
pertanian di pulau jawa mencapai 8 persen per tahun, sehingga jika hal
tersebut tidak dikendalikan maka secara matematis 12,5 tahun kedepan
seluruh lahan pertanian di pulau jawa akan beralih fungsi menjadi lahan
untuk pemukiman guna memenuhi kebutuhan perumahan bagi penduduk.
Ledakan penduduk juga menyebabkan
penebangan dan perambahan hutan sekedar untuk memenuhi kebutuhan kayu
bakar dan keperluan lain yang sifatnya konsumtif. Akhibatnya terjadilah
penggundulan hutan yang dapat menyebabkan banjir, tanah longsor dan
bencana lainnya. Kesimpulannya, ledakan penduduk mengakibatkan
keseimbangan lingkungan terganggu, sehingga dapat memperumit mengurai
benang kusut kelaparan dan kemiskinan yang pada saatnya justru sampai
pada pangkal penyebabnya yakni krisis pangan.
UNDERVALUED
Sudah jamak diketahui di negara-negara
agraris seperti Indonesia, aktivitas pertanian dinilai rendah
(udervalued), meskipun Indonesia sangat terkenal dengan negara yang
subur dan kaya sumber daya alam. Pengalaman kita sejak ratusan tahun
yang lalu menunjukkan bahwa kita masih terfokus pada pertanian budi daya
(on-farm) saja. Ekspor kita didominasi oleh produk-produk primer bukan
produk olahan seperti yang dilakukan oleh negara tetangga Thailand dan
Malaysia yang memiliki nilai tambah besar. Apabila kita bandingkan
dengan Thailand dan Malaysia maka wajar apabila nilai tambah yang kita
peroleh juga kecil, hal ini terjadi karena konsentrasi pembangunan
pertanian di Indonesia sejak tahun 1980-an masih bertumpu pada pangan
beras, sehingga perkembangan industri pengolahan pertanian (agro
bisnis)
khususnya pangan menjadi terabaikan. Kemajuan-kemajuan teknologi
pertanian yang telah kita capai memang memberi andil besar terhadap
peningkatan produktivitas hasil pertanian saat ini. Akan tetapi, dengan
pertumbuhan penduduk yang semakin besar, yaitu saat ini sekitar 236 juta
jiwa, untuk mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri, pemerintah
menerapkan kebijakan impor pangan khususnya beras dari Thailand.
Teori perdagangan internasional
mengajarkan pentingnya spesialisasi pada masing-masing negara
berdasarkan keunggulan komparatif yang dimilikinya. Negera-negara
beriklim tropis yang memiliki lahan subur sebaiknya melakukan
spesialisasi dalam produk pertaniannya, sementara negara-negara yang
tidak memiliki lahan subur dan iklim yang cocok untuk pertanian
sebaiknya melakukan pengembangan pada industri pengolahan pertanian
(agro
bisnis),
dengan demikian antara negara satu dengan yang lainnya mampu terjadi
efisiensi produksi yang saling mengisi dan menguntungkan. Namun fakta
yang terjadi menunjukkan bahwa teori tidak selalu sesuai dengan
kenyataan. Berdasarkan pengamatan dari Raul Prebisch – seorang ekonom
Amerika Latin, ternyata terjadi penurunan nilai tukar komoditi
pertanian terhadap produk-produk industri, hal ini mengakhibatkan
terjadinya defisit neraca perdagangan negara-negara agri
bisnis
yang mengandalkan pertanian. Penyebab terjadinya defisit neraca
perdagangan tersebut adalah adanya distorsi perdagangan global akibat
subsidi domestik dan subsidi ekspor yang luar biasa besar yang diberikan
oleh negara-negara maju sehingga harga di pasar dunia menjadi sangat
murah ( Kompas, 3-1-2012). Sementara negara-negara agraris sangat
lambat membangun dan mengembangkan industri pengolahan pertanian
(agrobisnis) sehingga nilai tambahnya sangat rendah (undervalued).
Rendahnya nilai tambah hasil pertanian
juga disebabkan oleh faktor-faktor lain yang melekat (inherent).
Misalnya, pertama adalah masalah ketersediaan air, kurang lebih sekitar
90% air bersih di Indonesia digunakan untuk sektor pertanian dan lebih
dari setengahnya digunakan untuk irigasi tanaman padi, dibutuhkan
rata-rata 3.000 liter air untuk produksi 1 kilogram padi varietas padi
unaerobic (Zeigler, 2005). Kedua adalah masalah salinitasi air, air
tanah yang berasal dari sumur dangkal maupun sumur dalam yang dipompa
untuk keperluan produksi pertanian akan menguap dan bilamana curah hujan
tidak seimbang dapat menyebabkan meningkatnya konsentrasi kandungan
bahan kimia dan garam dalam air tanah tersebut sehingga dapat menurunkan
kesuburan tanah secara drastis. Ketiga adalah masalah pemanasan global,
masalah pemanasan global kini menjadi masalah yang sangat serius,
dampaknya sudah mulai kita rasakan antara lain meningkatnya permukaan
air laut, banjir, puting beliung dan suhu udara yang semakin panas dan
basah. Setiap kenaikan suhu udara 1 derajat celcius saja mampu
menyebabkan berkurangnya hasil pertanian padi sebesar 0,5 Ton per
hektar. Keempat adalah pertanian padi yang menggunakan sistem pertanian
dengan cara menggenangi sawah dengan air dapat meningkatkan emisi gas
methane yang mengakhibatkan lubang pada lapisan ozon. Kelima adalah
masalah penggunaan pestisida dan pupuk anorganik yang berlebihan,
penggunaan pestisida yang berlebihan dapat membunuh predator alam dan
mikro-organisme yang ada didalam tanah, sedangkan penggunaan pupuk
anorganik yang berlebihan dapat mengakibatkan tanah lahan pertanian
kekurangan bahan organik yang diperlukan untuk kelangsungan hidup
mikro-organisme, sehingga tanah lahan pertanian tidak bisa gembur dan
berubah menjadi gumpalan bahan kimia.
INTEGRATIF
Pertumbuhan penduduk dunia saat ini
mencapai 7 milyar lebih dan akan terus bertambah dengan persebaran
penduduk berdasarkan jumlahnya adalah : China sebesar 1,3 milyar jiwa,
Amerika Serikat 280 juta jiwa, Indonesia 236 juta jiwa dan sisanya
tersebar di berbagai negara di dunia. Dalam setiap 20 menit lahir
sebanyak 6.000 bayi di seluruh dunia yang sebagian besar ada di
negara-negara berkembang, yang setengahnya tergantung pada hasil
pertanian beras sebagai makanan utamanya. Bagi penduduk yang berada di
bawah garis kemiskinan, pengeluaran rutin untuk membeli bahan makanan
utama khususnya beras merupakan bagian terbesar dari pengeluaran
rutinnya. Kerawanan pangan dan kelaparan sering terjadi pada petani
ber-skala kecil (petani gurem), nelayan dan masyarakat sekitar hutan
yang menggantungkan hidup pada sumber daya alam (SDA) yang semakin
berkurang dan terdegradasi, sedangkan kerawanan pangan pada masyarakat
perkotaan utamanya terjadi pada buruh.
Oleh karena itu, untuk mengurangi
kemiskinan tidaklah cukup hanya dengan cara menurunkan harga beras dan
meningkatkan produktivitas petani, melainkan harus diimbangi dengan
pembatasan laju pertumbuhan penduduk sebagai satu sistem yang
terintegrasi. Thomas Robert Malthus (1766-1834) mengatakan bahwa
pertumbuhan manusia berdasarkan deret ukur sedangkan pertumbuhan pangan
berdasarkan deret hitung, semakin membuat kita yakin bahwa jika
berbicara mengenai masalah pangan dan kemiskinan/ kelaparan tidak bisa
dilepaskan dari masalah laju pertumbuhan penduduk. Hal tersebut akan
menimbulkan pertanyaan bagi faham monoteisme; Bagaimana Sang Pencipta
Yang Maha Tahu menunjukkan Ke-Maha Rahiman-Nya tanpa partisipasi
kehendak bebas dari manusia ? Dalam firman-Nya Sang pencipta mengatakan :
“Janganlah engkau takut mengenai apa yang akan kau makan dan minum,
sebab burung-burung di udara yang tidak menabur juga diberi makan,
apalagi engkau wahai manusia”.
Sang Pencipta juga memperingatkan kita
sebagai manusia untuk tidak meninggalkan keturunan yang lemah, hal ini
ditekankan kembali oleh Utusan-Nya bahwa generasi yang kuat lebih
disukai daripada generasi yang lemah. Manusia sebagai hamba sekaligus
utusan Tuhan di Bumi (Khalifatullah fil Ardhi) telah merespon hal
tersebut melalui Revolusi Hijau (green revolution) pada awal abad ke-19
dan World Trade Organization (WTO). Akan tetapi respon manusia tersebut
ketika akan memacu kecukupan pangan mengikuti laju pertumbuhan penduduk
ternyata mengalami kegagalan. Revolusi hijau meskipun berhasil
meningkatkan swasembada pangan tetapi memiliki dampak negatif terhadap
ekosistem alam, akhirnya swasembada pangan pun tidak berkelanjutan
(unsustainable), bahkan karena lahan pertanian di negara-negara
berkembang cenderung rusak justru yang terjadi adalah krisis pangan. WTO
yang semula diharapkan dapat menjaga harmoni perdagangan dunia, justru
menciptakan ketimpangan dan penyebab kemiskinan di negara-negara
berkembang dan berpihak pada negara-negara maju.
Sang Pencipta tidak akan menjatuhkan
pangan dari langit, kecuali melalui ikhtiar manusia sebagai co-creator ,
oleh karena itu semua faham spiritualisme terutama monoteisme sebaiknya
menghentikan segala pertikaian dengan motif egosentrisme untuk meraih
imbalan kebahagiaan abadi di akherat dan mulai bersungguh-sungguh
berlomba-lomba dalam kebaikan dengan giat mengusahakan kecukupan pangan
yang berkelanjutan. Salah satu pilihan yang dapat ditempuh adalah dengan
mengendalikan laju pertumbuhan penduduk melalui program
Keluarga Berencana
serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berbasis pada
sumber daya manusia dan kearifan lokal guna meningkatkan kecukupan
pangan yang berkelanjutan ( The Evergreen Revolution ). Pilihan tersebut
bukan tidak memiliki resiko, karena disamping memakan waktu yang
relatif lama, dananya juga besar, mungkin juga konsensus yang
bertele-tele dengan para pemuka agama dan spiritualis, dibutuhkan
kebijakan politis, kedisiplinan dan partisipasi dari masing-masing
orang. Bersamaan dengan hal tersebut, kecenderungan ekploitasi sumber
daya alam untuk kebutuhan manusia harus tetap dijaga keseimbangan dan
kelestariannya. Jangan hanya demi untuk mencapai kesejahterannya,
seorang manusia membuat manusia lain tidak sejahtera (zero sum game),
jika hal tersebut sampai terjadi maka dibutuhkan koreksi dan kebijakan
yang lebih berkeadilan, integratif dan harmonis.